Jaksa Tuntut Terdakwa Seorang Pendidik dan Pengasuh Pondok Pesantren 14 Tahun Penjara
KETAPANG KALBAR (BJN): Senin, 1 Oktober 2024, Pengadilan Negeri Ketapang menggelar sidang pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa Sigit Agung Wicaksono, alias Sigit seorang pendidik dan pengasuh Pondok Pesantren di Sungai Kelik, Kecamatan Naga Tayap, Kabupaten Ketapang. Kasus yang menimpa Sigit Agung Wicaksono adalah kasus persetubuhan anak di bawah umur, di mana korban adalah anak asuhnya (anak Pondok) yang pada saat kejadian berusia 13 tahun.(salah satu bukti yakni hasil visum et repertum)
Berdasarkan informasi dari sumber terpercaya saat sidang tertutup di Pengadilan Negeri Ketapang, Jaksa Penuntut Umum WARA ENDRINI, ST, S.H, MH. Di depan Hakim Tungal ALDILLA ANANTA, S.H., M.H yang menangani Perkara ini membacakan tuntutan atas perbuatan Sigit Agung wicaksono melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak dengan. Tuntutan 14 tahun Penjara. Tuntutan yang disampaikan jaksa Penuntut Umum bertujuan untuk menegakkan keadilan dan menunjukkan bahwa tindakan persetubuhan anak di bawah umur adalah perbuatan yang tidak dapat diterima dalam masyarakat.
Sebagai seorang pendidik dan pengasuh pondok pesantren, Terdakwa seharusnya memberikan perlindungan dan pembinaan kepada anak asuhnya, bukan malah melakukan tindakan yang merugikan dan melanggar hukum.
Terdakwa dikenakan pasal 81 atau pasal 82 ayat (1) yakni “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.00O.0O0.0OO,00 (lima miliar rupiah)”
Sedangkan pasal 76 E tertulis bahwa “setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.
Pasal yang juga dikenakan kepada terdakwa pasal 76D yakni “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.
Karena terdakwa adalah seorang pendidik (guru) sekaligus pengawas pondok Pesantren, maka ia dikenakan pasal 82 ayat (2) yakni “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1.
Kasus ini mencuat ke publik dan mengejutkan banyak orang karena pelaku adalah seorang yang seharusnya menjadi teladan bagi generasi muda, terutama dalam lingkungan pendidikan dan keagamaan. Sebagai seorang pendidik dan pengasuh pondok pesantren, terdakwa seharusnya memberikan perlindungan dan pembinaan kepada anak asuhnya, bukan malah melakukan tindakan yang merugikan dan melanggar hukum.
Tindakan persetubuhan anak di bawah umur adalah pelanggaran serius yang harus ditindak tegas oleh hukum. Semua pihak, terutama para pendidik dan pengasuh, harus menjadikan keamanan dan perlindungan anak sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil. menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak-anak, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan baik tanpa rasa takut dan trauma.
Dalam kasus ini, penting bagi Pengadilan Negeri Ketapang untuk memberikan putusan yang adil dan memberikan pembelajaran kepada masyarakat bahwa pelanggaran terhadap hak anak adalah tindakan yang tidak dapat diterima dan harus ditindak dengan tegas. Semoga kasus ini dapat menjadi momentum bagi semua pihak untuk lebih memperhatikan kebutuhan dan perlindungan anak-anak, sebagai generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dan dibina dengan baik/red.