JAKARTA(BJN):Regulasi baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan perlindungan hukum yang signifikan bagi para aktivis lingkungan. Aturan ini menyatakan bahwa orang-orang yang berjuang untuk melindungi lingkungan tidak dapat dipidana atau digugat perdata, sehingga memberikan keamanan bagi mereka dalam menjalankan aksi konservasi. Pemberian kekebalan hukum ini menjadi langkah strategis untuk mendukung gerakan pelestarian lingkungan di Indonesia. Implikasi dari regulasi ini adalah pengurangan risiko hukum yang sebelumnya dihadapi oleh aktivis, sehingga mereka dapat lebih fokus pada perjuangan mereka. Dukungan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum menunjukkan komitmen yang lebih serius terhadap isu lingkungan.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, memainkan peran penting dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE). Rapat tersebut berlangsung di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Kamis, 13 Juni 2024, di mana berbagai pihak berdiskusi secara intensif. Dalam pertemuan ini, terdapat kesepakatan signifikan antara Pemerintah, Komisi IV DPR RI, dan Komite II DPD RI untuk melanjutkan naskah RUU KSDAHE ke tahap berikutnya. Selain itu, Kementerian LHK juga meluncurkan regulasi baru yang bertujuan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap pejuang lingkungan. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 10 Tahun 2024, yang diharapkan dapat memperkuat upaya konservasi di Indonesia. Kesepakatan dan langkah-langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga kelestarian sumber daya alam dan mendukung para aktivis lingkungan.
Peraturan ini telah ditandatangani oleh Menteri LHK Siti Nurbaya pada 30 Agustus 2024 dan secara resmi diundangkan pada 4 September 2024. Tujuan dari peraturan ini adalah memberikan perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan yang berkomitmen untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Dalam pertimbangannya, KLHK menyatakan bahwa diperlukan tata kelola yang baik untuk pelaksanaan perlindungan hukum tersebut. Tata kelola ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi publik dalam upaya perlindungan lingkungan yang lebih efektif. Selain itu, sinergitas antarlembaga juga menjadi fokus agar upaya pencegahan terhadap perusakan lingkungan dapat dilakukan secara komprehensif dan terkoordinasi. Dengan adanya peraturan ini, diharapkan akan tercipta ruang aman bagi pejuang lingkungan untuk beraksi dan menjaga keberlanjutan ekosistem.
Peraturan Menteri LHK Nomor 10 Tahun 2024 terdiri dari tujuh bab yang mengatur berbagai aspek terkait perlindungan lingkungan dan hak-hak para pejuangnya. Salah satu poin penting dari peraturan ini adalah pengakuan bahwa pejuang lingkungan hidup kini dilindungi dan tidak bisa dipidana, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 2. Dalam artian ini, orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Kategori pejuang lingkungan yang dilindungi mencakup individu, kelompok, organisasi lingkungan, akademisi, masyarakat hukum adat, dan badan usaha. Selain itu, peraturan ini juga mencakup tata cara bagi pejuang lingkungan untuk mendapatkan perlindungan hukum melalui pengajuan permohonan kepada Menteri LHK. Khususnya, permohonan tersebut dapat diajukan secara langsung oleh pemohon atau diwakili oleh pihak lain yang berwenang, memastikan aksesibilitas bagi semua yang terlibat dalam pelestarian lingkungan.
Dalam Pasal 16, terdapat ketentuan yang memberikan wewenang kepada menteri untuk memberikan perlindungan hukum atas tindakan pembalasan yang mungkin dialami oleh pejuang lingkungan. Tindakan pembalasan ini bisa berupa berbagai bentuk, seperti intimidasi atau penganiayaan terhadap individu atau kelompok yang memperjuangkan isu lingkungan. Sebagai bentuk perlindungan hukum, somasi menjadi salah satu opsi yang bisa digunakan untuk menegur pihak yang melakukan tindakan pembalasan tersebut, sementara gugatan perdata dapat diajukan untuk meminta ganti rugi atas kerugian yang dialami. Namun, Pasal 17 juga menegaskan bahwa menteri memiliki hak untuk menolak permohonan perlindungan hukum, dengan mencantumkan pertimbangan yang mendasari keputusan tersebut. Pertimbangan ini mencakup analisis situasi dan bukti yang diajukan oleh pemohon. Oleh karena itu, meskipun ada kesempatan untuk perlindungan, keputusan akhir berada di tangan menteri dengan mempertimbangkan banyak faktor.