BJN- PemilIhan umum tahun 2024 sudah semakin mendekati hari pelaksanaan pemungutan suara yang akan digelar pada tanggal 14 Februari 2024. Saat ini beberapa tahapan pemilu secara formal sudah dan sedang berjalan sebagaimana ketentuan undang-undang. Diantara tahapan yang telah berlangsung adalah perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu, pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pendaftaran dan verifikasi Peserta Pemilu, penetapan Peserta Pemilu, penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan. Adapun tahapan lainnya yang sedang dan akan dilaksankan adalah pencalonan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, masa Kampanye Pemilu, masa tenang, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil Pemilu, dan pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Seluruh pemangku kepentingan Pemilu berperan untuk memastikan semua tahapan pemilu dilaksanakan sesuai dengan azas dan prinsip pemilu yang demokratis dan berintegritas agar proses dan hasil pemilu itu dipercaya. Diperlukan kepedulian dan partisipasi dari elemen masyarakat secara luas untuk ikut terlibat memastikan integritas pemilu 2024.
Tantangan Pengawasan Partisipatif
Dalam pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan, Undang-undang secara eksplisit mengatur bahwa kewenangan melakukan pengawasan pemilu secara formal dilakukan oleh lembaga Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu disetiap tingkatan dengan semangat mengedepankan tindakan pencegahan terhadap potensi terjadinya pelanggaran pemilu.
Namun terhadap kerja-kerja pengawasan pemilu, jika hanya berharap secara formalistik dilakukan oleh lembaga Bawaslu tentu akan menimbulkan kesulitan tersendiri. Hal ini mengingat secara struktur kelembagaan Bawaslu memang diperkuat secara berjenjang mulai dari pusat hingga pengawasan di tingkat paling bawah yaitu di tingkat TPS, namun secara jumlah personilnya sangat terbatas yaitu jumlah anggota Bawaslu Republik Indonesia sebanyak 5 (lima) orang, Bawaslu Provinsi sebanyak 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang, Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang dan Panwaslu Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang, adapun jumlah anggota Panwaslu Kelurahan/Desa di setiap kelurahan/desa sebanyak 1 (satu) orang dan Pengawas TPS berjumlah 1 (satu) orang setiap TPS.
Bahwa keberadaan Bawaslu secara berjenjang semakin diperkuat secara formalistik oleh Undang-Undang namun disisi lain menimbulkan sikap apatisme dari masyarakat, karena beranggapan bahwa sudah ada lembaga resmi negara yang bernama Bawaslu untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemilu. Padahal kenyataannya seperti yang disebutkan di atas bahwa secara personil keberadaan Bawaslu sangat terbatas untuk melakukan pengawasan secara maksimal. Oleh karena itu diperlukan keterlibatan masyarakat secara luas bersama dengan Bawaslu untuk peduli dan terlibat dalam pengawasan pemilu agar mencegah terjadinya pelanggaran pemilu. Tantangan lainnya berupa adanya keengganan dari masyarakat untuk ikut terlibat dalam mengawasi pemilu dikarenakan adanya rasa “tidak enak” atau bahkan intimidasi.
Rasa tidak enak untuk melaporkan terjadi ketika potensi pelanggaran atau pelanggaran pemilu dilakukan oleh orang dekat atau orang yang dikenal dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akhirnya masyarakat memilih diam atau bahkan memaklumi saja. Sedangkan adanya ancaman dari pelaku pelanggaran juga tidak menutup kemungkinan akhirnya pelanggaran yang terjadi tidak dilaporkan. Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan sosialisasi, edukasi dan persuasi dari lembaga Bawaslu untuk membangun kesadaran masyarakat secara massif untuk ikut berpatisipasi terlibat dalam pengawasan pemilu.
Integritas Pemilu Terancam
Integritas gelaran pemilu tahun 2024 terancam oleh potensi terjadinya pelanggaran berupa politik uang, informasi hoaks dan politisasi SARA. Terutama politik uang yang semakin massif dan permisif. Pemilu dan Pemilihan yang dilakukan beberapa periode lalu yang seringkali diwarnai oleh prilaku memberikan uang, barang dan atau jasa dari peserta pemilu kepada pemilih seolah menjadi sebuah kebiasaan. Beragam alasan pembenaran yang coba dirangkai untuk melegitimasi politik uang, mulai dari ambil uangnya jangan pilih orang nya hingga pembenaran bahwa itu adalah pemberian/sedekah dari peserta pemilu atau calon sehingga namanya rezeki maka terima saja, dan banyak lagi alasan pembenaran yang lainnya. Hal ini sangat merusak moral masyarakat, karena seharusnya yang ditawarkan oleh peserta pemilu atau calon adalah visi, misi dan program kerjanya. Akibatnya sekali lagi akan sangat merugikan rakyat karena kelak ketika terpilih dan menjabat sebagai pemimpin atau wakil rakyat mereka merasa tidak lagi punya tanggung jawab untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat karena mereka sudah “membayar” suara pemilihnya secara tunai. Sehingga orientasi mereka pun bagaimana bisa memperkaya diri dan mengembalikan sumber daya yang telah dikeluarkan selama masa pemenangan pemilu. Betapa ruginya rakyat jika hal ini terjadi.
Untuk itu maka yang kita perlukan saat ini adalah gerakan untuk tidak menoleransi sama sekali terhadap praktik politik uang dalam pemilu tahun 2024. Dengan komitmen bahwa apabila ditemukan praktik politik uang maka peristiwa tersebut harus dilaporkan kepada Bawaslu sesuai tingkatan. Untuk menyukseskan gerakan ini dibutuhkan dukungan dan kerja sama dari masyarakat secara sadar dan kesukarelaan untuk ikut terlibat dalam pengawasan demi menjaga kualitas pemilu dan demokrasi di tanah air.
Pemilu yang Demokratis Memerlukan Partisipasi
Dalam sebuah negara demokrasi, maka partisipasi masyarakat menjadi sebuah keniscayaan sehingga tidak ada demokrasi tanpa partisipasi. Demikian hal nya dengan pemilu yang merupakan elemen dari demokrasi, keberadaan partisipasi dari masyarakat merupakan instrumen yang menentukan derajat pemilu demokratis yaitu free election. Jika mengacu pada standar internasional tentang pemilu demokratis, terdapat sekurangnya delapan prinsip Pemilu demokratis yaitu Periodic Elections Pemilu yang demokratis haruslah menyelenggarakan pemilu dengan interval waktu yang regular dan ditetapkan dengan undang-undang, Genuine Elections dimana Pemilu akan menjadi demokratis jika pemilu tersebut diadakan pada lingkungan sosial politik yang kondusif, dimana kebebasan asasi dijunjung tinggi dan pluralisme politik bisa tumbuh, Free Elections yaitu pemilu yang bebas diantaranya warga negara memiliki kebebasan untuk turut serta memantau dan mengawasi proses dan tahapan pemilu, Fair Elections yaitu Pemilu yang mampu menjamin keadilan.
Berikutnya adalah Universal Suffrage yaitu Pemilu yang mampu menjamin hak memilih dan dipilih semua warga negara yang memenuhi syarat berdasarkan undang-undang, Equal Suffrage dimana setiap warga negara memiliki satu suara, dan tiap suara ditakar dengan nilai yang sama, yakni “satu orang, satu suara, satu nilai”, Voting by Secret Ballot penyelenggara pemilu harus mampu memastikan kerahasiaan pilihan dari para pemilih, Honest Counting and Reporting of Result dimana penyelenggara pemilu ketika mereka menjalankan tugas penghitungan suara dan tabulasi suara bertindak secara profesional, imparsial, efisien, dan akurat.
Ramlan Surbakti juga mengemukakan setidaknya tujuh parameter pemilu demokratis yang salah satu diantaranya adalah partisipasi semua unsur masyarakat dalam proses penyelenggaraan Pemilu.
Jelaslah bahwa keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pemilu memiliki peran yang penting untuk memastikan proses pemilu berlangsung secara demokratis. Peran bersama masyarakat dalam pengawasan pemilu diharapkan efektif dalam mencegah potensi pelanggaran pemilu dan penanganan pelanggaran pemilu sehingga dengan demikian kualitas pemilu menjadi semakin baik. Jadi partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu adalah bertujuan untuk turut serta memastikan bahwa pemilu 2024 berlangsung secara demokratis dan berintegritas./red