Prof.Dr.Drs Henri Subiakto, SH, MA
JAKARTA,BJN- Prof.Dr.Drs Henri Subiakto, SH, MA Lahir di Yogyakarta 29 Maret 1962 Merupakan Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga Melihat Sidang MK dalam dua minggu ini, ada tanda-tanda seakan para hakim MK lebih terbuka pada semua opsi putusan, baik menolak maupun menerima gugatan. Walau mungkin akan berpikir jika sampai harus menerima gugatan. Betapa beratnya untuk mengembalikan keadaan dan kejiwaan ke titik sebelum pemilu.
Kita tahu pemerintah dan 02 sengaja jalan terus seakan tidak mungkin ada diskualifikasi sebagaimana gugatan pemohon. Prabowo malah sudah ke Cina dan diterima seolah Presiden.
Di sini MK dalam posisi yang berat dan sulit. Di satu sisi mereka pasti ingin mengembalikan marwah MK yang hancur karena putusan no. 90 tahun 2023. Di sisi lain jika MK berani memutus diskualifikasi Prabowo Gibran, bisa muncul chaos dan krisis. Padahal kalau chaos yang akan memegang kendali presiden Jokowi. Dengan backup Panglima TNI, Kapolri, KASAD, KASAU dan KASAL yg semua merupakan All The Presiden’s Men.
Maka yang paling mungkin didorong dan diframing beresiko kecil dengan keributan sebentar adalah MK menolak gugatan. Kalau kemudian terjadi unjuk rasa, TNI-Polri pasti sudah siap antisipasi dan menghadapi pengunjuk rasa.
Sekarang MK memanggil 4 Menteri, untuk memberi keterangan dengan yg boleh bertanya hanya para hakim MK, tanpa membuka pertanyaan dari pemohon, sebagaimana kalau dihadirkan sebagai saksi. Dengan hanya memberi keterangan, perspektif pembahasan jadi datar dan kurang tajam. Makanya pemanggilan menteri-menteri ke MK, dibiarkan oleh Presiden, karena tahu para menteri tentu bisa jawab pertanyaan hakim dengan jawaban-jawaban teknis dan normatif.
Namun makna kehadiran menteri-menteri di MK sudah cukup menunjukkan upaya hukum telah dilakukan serius. Itulah konsep “seeing is believing”, apa yang nampak di mata rakyat akan dipercaya sebagai upaya yang benar, walau aslinya materi yang diperoleh dari tanya jawab dengan para menteri itu tak terlalu banyak guna terkait isu perusakan demokrasi.
Konsep “Seeing is believing” sendiri sering dipakai dalam konteks political public relations. Termasuk strategi komunikasi agar rakyat bisa melihat keseriusan Jokowi membangun negeri, begitu pula kerja MK sekarang, harus terlihat serius, agar kekecewaan rakyat tidak menjadi-jadi. Panggung yang menarik di MK itu bisa sebagai sarana katarsis terhadap berbagai kekecewaan.
Dulu di Sidoarjo Jawa Timur, ketika lumpur Lapindo meluap dan membuat warga ngeri dan marah karena wilayahnya terancam, maka yang dilakukan adalah memasukkan bola bola beton ke dlm mud vulcano atau pusatnya lumpur panas. Secara teknis upaya memasukkan bola-bola beton itu tidak ada manfaat, karena masuk ke perut bumi, tapi aktivitas itu dikerjakan sebagai upaya komunikasi, agar rakyat melihat ada upaya serius yang dikerjakan. Itu yg namanya “Seeing is Believing”, dengan melihat itu rakyat tenang, percaya, negara sudah bekerja.
Dalam konteks sengketa hasil Pemilu, kalau nanti diputus MK, mereka juga akan mengakui bahwa MK telah bekerja maksimal, sebagaimana yang terlihat sampai hadirkan 4 menteri menjadi saksi. Jika masih ada yang protes dengan gerakan perlawanan demokrasi, mereka akan dianggap sebagai kelompok berisik yang tidak legowo. Kelompok yang tidak menerima kenyataan hingga bisa mengganggu persatuan dan agenda nasional. Bahkan dituding akan menghambat upaya mewujudkan Indonesia emas. Itulah cara meredam gejolak politik dengan mempengaruhi persepsi rakyat. Political reality is about perception.
Setelah panggung MK nanti selesai, kemungkinan selesai pula ruang legal untuk menyelamatkan demokrasi di negeri ini. Kenyataan yang harus diterima, faktanya sebagian besar elite politik negeri ini memang sudah bobrok. Dan Jokowi berhasil menghimpun dan mengelola kebobrokan itu menjadi kekuatan politiknya. Penegakan hukum yang ditakuti para elite yang bobrok menjadi alat politik yang efektif bagi Jokowi. Membuat orang-orang bobrok tak berdaya kecuali ikut Jokowi. Walhasil, law is a tool of political engineering. Sedang Kekuatan rakyat, kekuatan demokrasi makin “tidak berdaya”. Sudah begitu masih dianggap sebagai pihak yang mengganggu kepentingan nasional.
Sementara dengan berjalannya waktu, sebagian besar orang akan sibuk memikirkan nasibnya sendiri daripada persoalan mengurus rusaknya demokrasi. Case closed. Semua hanya jadi catatan sejarah buruk tentang demokrasi di negeri ini./red